Pisah ranjang fotografi (journey from the past)

Seorang teman tampak keheranan ketika saya tidak membawa kamera foto pada sebuah perhelatan carnaval bertajuk Solo Batik Carnival  ke…. (saya lupa) yang digelar di sepanjang jalan utama kota Solo (saya lupa……kapan perhelatan itu…), padahal menurut teman saya itu saya termasuk penghobi fotografi. Dengan ringan saya menjawab bahwa saya sedang pisah ranjang dengan dunia fotografi, alias saya lagi tidak ingin bersentuhan dulu dengan dunia yang satu itu, setidaknya untuk beberapa saat. Kamera saya sudah lama beristirahat dalam almari, dan tidak lagi menemani dalam tiap gerak langkah dan gerak mata saya. Kenapa saya tadi bilang bahwa sedang pisah ranjang, ya karena “kekasih pertama” saya adalah Yashica (merek kamera saya he2). Sekarang memang jarang bersentuhan dengan hobi foto, he2 semenjak ledakan teknologi digital memukul telak kantong saya, sehingga belum bisa mengejar nominal harga sebuah kamera DSLR he2.

Bersama Yashica itu saya mengalami sejarah yang cukup menakjubkan. Banyak peristiwa yang kami alami berdua, dia menjadi mata saya saat ada momen yang ingin saya abadikan, dia menjadi laboratorium ketika banyak sekali objek yang ingin saya tampilkan bukan sebagai sebuah objek semata melainkan ada “pemaknaan” khusus. Dia menjadi teman curhat ketika pernah saya menempuh jarak yang lumayan jauh hanya untuk menghabiskan satu frame negative film (ketika hunting/ berburu foto saya lupa membawa stock negatife film). Dia menemani saya bertandang di studio fotografi milik dedengkot fotografi Indonesia yaitu pak Darwis T, waktu itu di Jalan Raden Saleh, Cikini Jakarta Pusat, juga di studio seorang fotografer handal pak Ferry .A   di daerah Tebet Jakarta Selatan (saya lupa tahun berapa itu)

Negatife film, barangkali benda ini akan menghilang dari permukaan bumi, dan hanya menjadi pengisi sejarah fotografi. Era sekarang telah diganti dengan teknologi digital fotografi yang tidak lagi membutuhkan benda tersebut.

Kembali pada  acara carnaval itu. Ketertarikan saya tidak lagi pada perhelatan carnaval itu, melainkan pada banyaknya penonton yang membawa kamera DSLR (Digital Single Lens Reflect) dengan lensa yang panjang mirip pipa paralon, saya tidak tahu mereka dari kalangan pers atau bukan , yang pasti ada kekaguman  muncul, lalu saya bergumam betapa generasi sekarang sangat dimudahkan dengan  terciptanya teknologi digital pada fotografi. Dengan sekali memencet tombol  dan klik maka preview foto bisa langsung dilihat pada sebuah layar LCD (liquid crystal display)  yang berada di punggung kamera, jika dirasa jelek maka tinggal dihapus dan mengulangi memotret lagi. Kemudahan ini yang tidak bisa didapat ketika menggunakan kamera yang berbasis pada negatife film (kamera analog), karena jika terjadi kesalahan saat memotret, berarti membuang satu frame negatife film.

Perbandingan  analog (kamera berbasis negatife film) dan digital (DSLR) sempat memenuhi pikiran saya, kekurang praktisan, dan  kesulitan  saat memakai kamera analog dibanding dengan DSLR memberi simpulan awal (tapi ragu juga) bahwa di situlah letak eksklusifitas dari sebuah karya foto hasil jepretan kamera analog, sekali lagi  merujuk pada anatomi kamera analog yang tidak memiliki fasilitas preview foto (kesalahan dalam memotret tidak bisa dihapus). Sehingga seorang fotografer harus benar – benar pandai dalam perhitungan teknis agar bisa menghasilkan karya foto yang bagus dan meminimalisir kesalahan pada waktu pemotretan

Simpulan awal saya tadi mendapatkan pencerahan dengan pendapat pak Darwis  (dalam sebuah tayangan di televisi), ketika itu ada yang berpendapat kalau fotografi digital tidak ada seninya. Jawaban dari pak Darwis  cukup bagus juga, yaitu bahwa fotografi itu adalah permasalahan cahaya. Kamera analog atau DSLR hanya semata alat, jika tidak ada cahaya maka tidak ada fotografi. Artinya selama masih ada cahaya maka tidak masalah memakai kamera analog atau DSLR..

Pada tahun 2005 di Yogyakarta  saya bertemu  dengan seorang seniman fotografi, saya mendapatkan asupan gizi lagi, yaitu berupa perluasan pengertian fotografi yang tidak hanya sebuah imaji dari hasil jepretan kamera foto semata, sebagaimana pengertian fotografi pada umumnya. Seniman itu   (Angki P dari komunitas Ruang Mess 56), mengatakan bahwa sebuah karya fotografi bisa dihasilkan dari beberapa alat selama alat itu memiliki prinsip kerja cahaya. Sebutan karya foto  bisa dihasilkan dari scanner, enlarger, mesin fotokopi, capture dari DVD/ VCD dan itu sah sebagai karya fotografi. Pada saat itu saya cukup heran juga, tapi tidak mengapa, pandapat itu memang masuk akal juga. Contohnya  fotogram, sebuah karya foto yang  tidak dihasilkan dari kamera SLR melainkan dari enlarger, atau pinhole camera yang menghasilkan karya foto dari kaleng bekas.

Maka jika sekarang ada revolusi teknologi digital fotografi itu hanya semata mempermudah, tapi prinsip dasar fotografi tetap sama yaitu melukis dengan cahaya  Kuncinya adalah “man behind the gun”, orang yang berada di balik setiap kamera itu, apapun mereknya. Hanya saja terdapat  nilai lebih buat  orang yang pernah mengalami masa fotografi dengan kamera analog lalu berpindah ke kamera DSLR, jika dibandingkan dengan orang yang sama sekali tidak mengalami fase analog, yaitu kesempatan terlibat dalam dua fase perubahan teknologi fotografi.

2 Comments (+add yours?)

  1. bintangtimur
    Apr 04, 2010 @ 17:24:09

    Satu lagi nih kelebihan Asfan yang saya baru tau…keren…!

    Reply

  2. Asop
    Apr 25, 2010 @ 08:08:51

    Hmmm…. saya lagi tertarik ama lomografi nih… :mrgreen:
    *apaan sih OOT*

    Reply

Leave a comment

RSS bacaan menarik

  • An error has occurred; the feed is probably down. Try again later.
March 2010
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031